Rabu, 02 April 2014

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM

Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling berkaitan. Artinya, kepemimpinan (style of the leader) merupakan cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya (leader behavior). Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior dengan leader style” merupakan kunci keberhasilan pengelolaan organisasi; atau dalam skala yang lebih luas adalah pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan Negara. Banyak pakar manajemen yang mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan. Dalam hal ini dikemukakan George R. Terry (2006 : 495), sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang orang agar mau bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela.”
Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kepemimpinan ada keterkaitan antara pemimpin dengan berbagai kegiatan yang dihasilkan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempersatukan orang-orang dan dapat mengarahkannya sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin, maka ia harus mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.
Kepemimpinan menurut Halpin Winer yang dikutip oleh Dadi Permadi (2000 : 35) bahwa :“Kepemimpinan yang menekankan dua dimensi perilaku pimpinan apa yang dia istilahkan “initiating structure” (memprakarsai struktur) dan “consideration” (pertimbangan). Memprakarsai struktur adalah perilaku pemimpin dalam menentukan hubungan kerja dengan bawahannya dan juga usahanya dalam membentuk pola-pola organisasi, saluran komunikasi dan prosedur kerja yang jelas. Sedangkan pertimbangan adalah perilaku pemimpin dalam menunjukkan persahabatan dan respek dalam hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya dalam suatu kerja.” Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:
bahwa kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.”
Dari defenisi kepemimpinan itu dapat disimpulkan bahwa proses kepemimpinan adalah fungsi pemimpin, pengikut dan variabel situasional lainnya. Perlu diperhatikan bahwa defenisi tersebut tidak menyebutkan
suatu jenis organisasi tertentu. Dalam situasi apa pun dimana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka sedang berlangsung kepemimpinan dari waktu ke waktu, apakah aktivitasnya dipusatkan dalam dunia usaha, pendidikan, rumah sakit, organisasi politik atau keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
Sedangkan George R Terry (2006 : 124), mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari pemimpin yaitu :
(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;
(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia;
(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri;
(5) Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
(6) Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;
(7) Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;
(8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.
Kemudian, kepemimpinan yang berhasil di abad globalisasi menurut Dave Ulrich adalah: “Merupakan perkalian antara kredibilitas dan kapabilitas.” Kredibilitas adalah ciri-ciri yang ada pada seorang pemimpin seperti kompetensi-kompetensi, sifatsifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa dipercaya baik oleh bawahan maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan kapabilitas adalah kamampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi serta dalam mengembangkan sumber-sumber daya manusia untuk kepentingan memajukan organisasi dan atau wilayah
kepemimpinannya.” Kredibilitas pribadi yang ditampilkan pemimpin yang menunjukkan kompetensi seperti mempunyai kekuatan keahlian (expert power) disamping adanya sifat-sifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang positif (moral character) bila dikalikan dengan kemampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi organisasi/ wilayah yang jelas akan merupakan suatu kekuatan dalam menjalankan roda organisasi/wilayah dalam rangka mencapai tujuannya.
Kepemimpinan Dalam Islam
Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.”
Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS.
al-Ahzab [33]: 21).
Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut :
“Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).
Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF):
(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;
(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.
Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu :
Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;
Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;
Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah.
Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;
Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau bawahannya.
Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :
“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip
dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan berfikir.
Secara ringkas penulis ingin mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlah kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasan berfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama. Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah tanggung jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanah kepemimpinan. Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikan nasihat bila diperlukan, sebagaimana Hadits Nabi dari :Tamim bin Aws
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?”
Beliau menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat kamu.”
Nah, kepada para pemimpin, mulai dari skala yang lebih kecil, sampai pada tingkat mondial, penulis hanya ingin mengingatkan, semoga tulisan ini bisa dipahami, dijadikan nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan dengan baik. Insya Allah. Amiin !
Itu saja. Dan terima kasih.

Kepemimpinan Transformasional

Kepemiminan merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk mengubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan.
Terdapat empat faktor untuk menuju kepemimpinan tranformasional, yang dikenal sebutan 4 I, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
Idealized influence: kepala sekolah merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi guru dan karyawannya, dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan sekolah.
Inspirational motivation: kepala sekolah dapat memotivasi seluruh guru dan karyawannnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.
Intellectual Stimulation: kepala sekolah dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan stafnya dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan sekolah ke arah yang lebih baik.
Individual consideration: kepala sekolah dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat bagi guru dan stafnya.
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para kepala sekolah dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di sekolahnya.
Karena kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan. Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi
Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi
Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama
Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan.
Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa “the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance”. Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu. Dalam buku mereka yang berjudul “Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership”, Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai “the Four I’s”.
Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996).
Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978). Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan praktekpraktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran. Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru. Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.

Kepemimpinan


Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi.
Kebanyakan orang masih cenderung mengatakan bahwa pemimipin yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas. Dan memang, apabila kita berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill, Sukarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui bahwa sifat-sifat seperti itu melekat pada diri mereka dan telah mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.

Bentuk-bentuk pemerintahan


Menurut Aristoteles.
Aristoteles membagi bentuk pemerintahan sebuah negara berdasarkan jumlah pemegang kekuasaan dan kualitas pemegang kekuasaan. Aristoteles adalah seorang filsuf yunani yang pemikirannya sangat berpengaruh. Sebelum menjadi salah satu filsuf terkenal, Aristoteles menimba ilmu kepada Plato. Gagasan-gagasan lain Aristoteles antara lain metafisika, Ilmu Kedokteran, Ilmu alan, karya seni. Aristoteles juga mengemukakan bentuk-bentuk pemerintahan,  Bentuk-bentuk pemerintahan menurut Aristoteles adalah:

1. Monarki - adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja atau kaisar
2. Tirani - Ini adalah bentuk pemerintahan oleh seorang raja yang bertindak sewenang-wenang untuk kepentingan sendiri. Bis dikatakan tirani adalah bentuk kemerosotan dari pemerintahan monarki
3. Aristokrasi - Adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh beberapa orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi untuk membuat rakyatnya lebih sejahtera.
4.Oligarki - merupakan bentuk pemerintahan yang dipimpin beberapa orang namun mereka hanya memikirkan kepentingan golongan saja.
5.Plutokrasi - inilah bentuk kemunduran dari aristokrasi. Plutokrasi(dipimpin oleh kelompok bengsawan) dan oligarki merupakan bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh golongan untuk kepentingan golongan tersebut saja.
6.Polity - adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh orang banyak untuk kepentingan rakyat.
7. Demokrasi - merupakan bentuk pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi dipimpin oleh rakyat. Menurut Aristoteles ini adalah bentuk kemunduran Polity.

Ada lima jenis bentuk pemerintahan menurut Plato. Kelima bentuk pemerintahan ini adalah sesuai dengan sifat manusia. Plato memiliki pendapat berbeda dengan bentuk pemerintahan dari aristoteles.

Berikut adalah bentuk pemerintahan menurut Plato.

1. Aristrokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang dipengang oleh kaum cendikiawan yang dilaksanakan sesuai dengan pikiran keadilan,
2. Timokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh orang – orang yang ingin mencapai kemashuran dan kehormatan
3. Oligarki, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh golongan hartawan
4. Demokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh rakyat jelata
5. Tirani, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seorang tirani (sewenang – wenang) sehingga jauh dari cita – cita keadilan

 Sumber 1

Jenis etika dan contoh kasus

Dalam penulisan blog saya, yang mebahas tetang etika berisi tentang pengertian apa itu etika dan kapan kita mempalajarinya.
Kalau dibagi etika menjadi beberapa jenis, maka etika menjadi 2 jenis :
1.      Etika Filosofis.
Etika filosofis secara harfiah (fay overlay) dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat
2.      Etika Teologis.
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masingKedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.
Contoh kasus yang melanggar etika :
Penelitian yang Melanggar Etika
Etika sangat berkaitan dengan apa yang salah dan apa yang benar. Seorang peneliti harus mempertimbangkan apakah penelitian yang akan dilakukannya sesuai dengan etika atau tidak. Berikut beberapa contoh penelitian yang melanggar etika:
a.       Meminta sejumlah siswa baru SMA untuk membuat perjanjian di mana mereka setuju untuk berpartisipasi dalam sebuah penelitian.
b.      Menanyakan hal yang sensitif pada siswa kelas 1 SD tanpa meminta persetujuan orang tuanya terlebih dahulu.
c.       Menghapus data penelitian yang telah dikumpulkan yang tidak mendukung hipotesisnya.
d.      Meminta mahasiswa untuk mengisi kuisioner tentang kehidupan pribadinya.
e.       Mengikutsertakan siswa kelas VIII untuk terlibat dalam penelitian yang mungkin akan mengganggu psikologis anak tanpa memberi tahu orang tua mereka tentang resiko tersebut.
Setiap contoh di atas mengandung satu atau lebih pelanggaran etika. Saat seorang peneliti akan melakukan suatu penelitian, ia harus mempertimbangkan apakah akan terjadi gangguan terhadap fisik maupun psikologis pada subjek dalam penelitiannya. Hal ini –meskipun sering terlewatkan- sangat penting dalam sebuah penelitian dan harus didiskusikan dengan seksama.
Pernyataan Mengenai Prinsip Etika
Webster’s New World Dictionary mendefinisikan etika sebagai “menyesuaikan dengan standar pelaksanaan profesi atau grup tertentu”. Apa yang dimaksud dengan etika sebenarnya adalah suatu kesepakatan di antara mereka (para professional, red). Beberapa tahun lalu Committee on Scientific and Professional Ethics of The American Psychological Association menerbitkan daftar prinsip etika penelitian dengan subjek manusia. Berikut beberapa prinsip yang berkaitan dengan penelitian dalam bidang pendidikan.
a.       Dalam perencanaan penelitian, peneliti bertanggung jawab penuh untuk mengadakan kajian awal mengenai hal-hal yang harus dipatuhi terkait dengan perlindungan hak asasi peserta penelitian.
b.      Memperhitungkan apakah peserta penelitian yang sedang direncanakan akan menjadi “subject at risk” atau “subject at minimal risk” berdasarkan standar-standar yang disepakati.
c.       Peneliti bertanggung jawab untuk memastikan penelitian dilaksanakan sesuai etika dan bertanggung jawab terhadap perlakuan etis pada peserta dari mereka yang terlibat dalam penelitian.
d.      Kecuali dalam penelitian beresiko rendah, peneliti hendaknya membuat kesepakatan yang jelas dan adil dengan peserta penelitian. Peneliti menyampaikan pada peserta seluruh aspek penelitian yang mungkin saja mempengaruhi kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam penelitian tersebut. Bahkan penelitian yang melibatkan anak-anak atau orang-orang yang memiliki kekurangan memerlukan prosedur perlindungan khusus.
e.       Kadang kala suatu penelitian memerlukan diadakannya penyembunyian fakta atau penipuan. Apabila seperti ini maka peneliti bertanggung jawab untuk memastikan apakah ini dibenarkan, apakah terdapat solusi lain, dan memberikan penjelasan yang memadai pada peserta sesegera mungkin.
f.       Peneliti menghargai hak peserta penelitian untuk sewaktu-waktu mengundurkan diri dari keikutsertaannya.
g.      Peneliti melindungi peserta penelitian dari segala bentuk ketidaknyamanan fisik dan mental, kerugian, maupun bahaya yang mungkin timbul dalam penelitian.
h.      Setelah data dikumpulkan, peneliti memberikan informasi tentang penelitiannya dan menjernihkan kesalahpahaman yang mungkin terjadi selama penelitian.
i.        Ketika prosedur penelitian menyebabkan akibat yang tidak diinginkan peserta, peneliti bertanggung jawab untuk mendeteksi dan menghilangkan atau memperbaikinya, termasuk efek jangka panjang.
j.        Informasi yang diperoleh selama penelitian bersifat rahasia kecuali telah ada kesepatakan sebelumnya.
Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan tiga hal penting yang peneliti harus perhatikan: melindungi peserta dari kerugian, memastikan kerahasiaan data penelitian, dan pertanyaan mengenai penipuan subjek.
Melindungi Peserta dari Kerugian
Tanggung jawab yang sangat penting bagi peneliti adalah melindungi peserta penelitian dari segala bentuk ketidaknyamanan fisik dan mental, kerugian, maupun bahaya yang mungkin timbul dalam penelitian. Ini merupakan etika paling penting dan penelitian yang melanggarnya sebaiknya tidak dilaksanakan, kecuali berpotensi memberikan informasi yang manfaat luar biasa bagi manusia. Meski demikian, peserta harus diberitahu secara jelas tentang bahaya yang mungkin terjadi. Bahkan tanggung jawab yang lebih jauh yaitu memperoleh persetujuan tertulis dari peserta.
Untungnya, hampir seluruh penelitian pendidikan melibatkan aktivitas yang lazim, prosedur umum dari sekolah atau lembaga lain tidak atau hanya menimbulkan resiko yang kecil.

Memastikan Kerahasiaan Data Penelitian
Ketika data telah selesai dikumpulkan, peneliti harus memastikan tidak ada orang yang dapat mengakses data kecuali beberapa pihak seperti asisten peneletian. Hal ini bisa dilakukan dengan mengubah identitas peserta menjadi angka atau tidak meminta peserta menyebutkan identitasnya sama sekali. Akan tetapi dalam beberapa kasus, identitas peserta diperlukan dalam penelitian. Jika demikian, maka sistem jalur informasi harus dijaga ketat.
Peserta berhak diberi jaminan kerahasiaan datanya dan namanya tidak akan dipublikasikan dalam penjelasan penelitian. Bahkan mereka berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian atau meminta datanya tidak digunakan.

Kapan (Jika Seandainya) Penipuan Peserta Dibenarkan?
Penipuan sebenarnya merupakan hal yang sukar. Kadang kala penelitian sulit dilakukan kecuali ada unsur penipuan di dalamnya. Misalnya untuk mengkondisikan siswa dalam kondisi tertentu, akan lebih mudah bagi peneliti mengamati akibat perlakukan tersebut jika guru bekerja sama. Kasus yang paling dikenal yaitu penelitian Milgram tentang kepatuhan. Dalam penelitian tersebut, peserta ditempatkan dalam satu ruangan kemudian diminta memberikan kejutan listrik yang terus ditingkatkan pada objek yang duduk di belakang layar. Yang tidak mereka ketahui adalah sebenarnya individu yang berada di belakang layar tersebut adalah rekan dari peneliti dan tidak kejutan listrik yang ditransfer ke individu tersebut.
Variabel yang diteliti adalah level kejutan listrik yang mereka berikan sampai akhirnya mereka berhenti. Dua puluh enam dari empat puluh orang memberikan kejutan listrik sampai batas maksimal, yakni 450 volt. Publikasi dari penelitian ini memimbulkan kontroversi. Banyak orang yang mengganggap penelitian ini melanggar etika. Bukan hanya unsur penipuan tetapi juga kerugian yang dialami peserta karena menderita secara emosional dari apa yang mereke piker telah mereka lakukan.
Petunjuk profesional terkini sebagai berikut:
Ø  Bila memungkinkan, peneliti berusaha untuk tidak ada unsur penipuan dalam penelitiannya.
Ø  Jika tidak ada alternatif lain, peneliti harus mempertimbangkan apakah penggunaan penipuan itu dibenarkan dari sudut pendang keilmuan, pendidikan, nilai-nilai terapan.
Ø  Jika dilakukan penipuan terhadap peserta, peneliti harus memastikan akan adanya pemberitahuan informasi yang memadai kepada partisipan.

Tiga Contoh Penelitian yang Melibatkan Kepentingan Etika
Kasus 1. Peneliti berencana mengamati 40 kelas untuk delapan pertemuan yang masing-masing berdurasi 40 menit. Tujuan dari pengamatan ini adalah menemukan hubungan antara perilaku siswa dengan perilaku yang dicontohkan dari guru.
Kemungkinan kerugian bagi peserta. Penelitian ini tidak akan memberikan kerugian bagi peserta. Baik guru maupun siswa tidak terkena resiko apapun dan pengamatan seperti ini diterima sebagai salah satu kegiatan sekolah.
Kerahasiaan Data Penelitian. Satu-satunya hal yang mungkin terjadi adalah jika ternyata dalam pembelajaran guru memperlihatkan perilaku yang kurang beretika (misalnya melakukan kekerasan). Peneliti sebenarnya berhak untuk melaporkan insiden tersebut tetapi hal ini akan menjadi dilema terkait dengan prinsip kerahasiaan data.
Penipuan. Dalam penelitian ini, peneliti seharusnya memberitahukan secara jelas kepada guru yang diamatinya mengenai alasan atau tujuan penelitian. Akan tetapi informasi tersebut dapat membuat kegiatan pembelajaran menjadi kurang alami. Dengan demikian peneliti dapat memilih untuk menjelaskan bahwa pengamatan ini bertujuan untuk meneliti perbedaan gaya mengajar, tanpa menjelaskan lebih rinci. Ini tidak termasuk kategori pelanggaran etika. Solusi lainnya yaitu menjelaskan pada guru bahwa tujuan penelitian tidak dapat diberitahu sampai semua data dikumpulkan. Tetapi cara ini mungkin akan membuat guru mengundurkan diri dari keikutsertaannya.

Kasus 2. Peneliti ingin mempelajari manfaat dari loka karya pencegahan bunuh diri di kalangan siswa SMA. Loka karya tersebut terdiri dari 3 x 2 jam pertemuan di mana didiskusikan hal-hal mengenai sinyal bahaya, penyebab bunuh diri, dan komunitas yang menyediakan konseling. Para siswa diminta secara suka rela dan setengah dari mereka akan dijadikan grup pembanding yang tidak akan mengikuti loka karya. Hasil penelitian berupa perbandingan informasi yang dipelajari dan sikap antara mereka yang mengikuti dan tidak mengikuti loka karya.
Kemungkinan kerugian bagi peserta. Apakah penelitian ini melanggar kategori ini atu tidak bergantung pada seberapa ‘tidak normal’ perilaku bunuh diri ini di sekolah yang bersangkutan. Di kebanyakan sekolah, kemungkinan hal ini akan dianggap tidak normal. Bahkan materi yang disajikan mungkin akan membahayakan siswa karena reaksi dari guncangan emosi. Selain itu peneliti harus memperoleh persetujuan orang tua siswa yang akan berpartisipasi.
Kerahasiaan Data Penelitian. Tidak ada permasalahan dengan kategori ini, tetapi kerahasiaan tentang apa yang terjadi selama loka karya tidak dapat dijamin.
Penipuan. Tidak ada indikasi.

Kasus 3. Peneliti ingin mempelajari efek dari ‘gagal’ dan ‘sukses’ dengan cara mengajari siswa kemampuan motorik selama 6 x 10 menit kegiatan pendahuluan pembelajaran. Setelah setiap latihan, siswa akan dibagi secara acak menjadi dua kelompok yakni kelompok yang diberitahu bahwa mereka ‘gagal’ dan kelompok yang diberitahu mereka ‘sukses’. Sedangkan hasil sebenarnya tidak akan digunakan.
Kemungkinan kerugian bagi peserta. Penelitian ini menunjukkan beberapa permasalahan. Sebagian siswa dalam kelompok ‘gagal’ mungkin akan mengalami tekanan mental. Meskipun siswa memang biasanya diberitahu tentang hasil tesnya, tetapi bagi beberapa di antaranya hal ini mungkin sangat bertolak belakang dari apa yang selama ini mereka alami. Sedangkan peneliti tidak dapat memberi tahu sepenuhnya tentang penelitian ini baik pada siswa maupun orang tuanya karena hal ini dapat menggagalkan tujuan penelitian.
Kerahasiaan Data Penelitian. Kerahasiaan tidak terkait dengan penelitian ini.
Penipuan. Jelas penipuan merupakan hal yang paling utama di kasus ini. Salah satu alternatif yang mungkin yaitu mendasari pembagian kelompok berdasarkan hasil sebenarnya. Kesulitannya yaitu pengalaman sebelumnya dari setiap siswa akan sangat mempengaruhi prestasi dan timbal balik mereka, sehingga mengacaukan hasil. Beberapa, tetapi mungkin tidak semua variabel tersebut dapat dikontrol dengan mempelajari arsip sekolah sebagai data masa lampau atau dengan mengadakan pre-tes. Alternatif lainnya yaitu dengan melemahkan perlakuan percobaan dengan menurunkan tekanan mental (misalnya mengatakan pada kelompok ‘gagal’, “kamu hanya tidak melakukan sebaik yang lain”) atau mengurangi latihan menjadi satu jam pelajaran. Kedua alternatif tersebut akan menurunkan kemungkinan munculnya permasalahan lain.

Penelitian dengan Anak-Anak
Penelitian yang melibatkan anak-anak memiliki beberapa hal khusus yang harus diperhatikan. Anak-anak lebih rentan dalam beberapa aspek, memiliki lebih sedikit hak, dan mungkin belum memahami bahasa dari surat persetujuan. Berikut beberapa aturan khusus yang perlu dipertimbangkan.
·         Keterangan persetujuan dari orang tua atau wali diperlukan untuk peserta di bawah umur. Mereka harus diberi informasi yang diperlukan dalam bahasa yang sesuai dan memiliki hak untuk menolak.
·         Peneliti tidak membawakan dirinya sebagai konselor dalam melaporkan hasil penelitiannya pada orang tua.
·         Anak-anak tidak boleh dipaksa untuk berpartisipasi dalam penelitian.
·         Segala bentuk bayaran untuk anak-anak tidak mempengaruhi akan penerapan aturan-aturan etika.

Peraturan Penelitian
Peraturan yang paling berpengaruh adalah National Research Act pada tahun 1947. Peraturan ini menetapkan seluruh institusi penelitian yang menerima pendanaan untuk menyusun institutional review boards (IRBs) untuk mereview dan menyetujui proyek penelitian. Dalam kasus pendanaan pemerintah, kegagalan untuk menyusunnya dapat berakibat seluruh institusi (misalnya sebuah universitas) akan kehilangan seluruh dukungan pemerintah.
Pada institusi yang menerima pendanaan pemerintah, semua peneliti yang terlibat yang berencana melaksanakan penelitian dengan subjek manusia harus lulus pelatihan penelitian online yang dilaksanakan oleh National Institutes of Health (NIH) atau Collaborative Institutional Training Initiative (CITI). Saat pelatihan telah diselesaikan, laporan penyelesaiannya berlaku untuk 3 tahun.
Kecurangan Akademik dan Plagiarisme
Sebagian besar pendidik percaya bahwa internet telah memfasilitasi siswa untuk melakukan kecurangan (mencontek) dan plagiarisme malaui akses yang mudah ke sumber-sumber elektronik. Plagiarisme –tindakan menyajikan karya orang lain sebagai karya seseorang yang lain- lebih sulit dilakukan dan untuk dihentikan. Berdasarkan pengalaman, dipercaya bahwa sejumlah siswa melakukan plagiarisme tanpa menyadarinya. Mereka tidak mengetahui peraturan yang berlaku berkaitan dengan penggunaan kutipan yang benar dais umber yang dipublikasikan dan tidak dipublikasikan. Petunjuk yang mudah untuk menghindari plagiarisme antara lain:
(1)        tidak menggunakan kata-kata orang lain tanpa memberi referensi sumber atau mengutip informasi sebagai kutipan langsung, dan
(2)        jangan menggunakan pemikiran orang lain tanpa mengutip sumbernya.  

Sumber 12


Etika



Kalau mendengar kata etika pastilah kita sudah terbiasa, dari sejak kecil selalu dididik supaya mempunyai etika yang baik kepada semuanya, baik orang tua, teman, guru, ataupun ketika kita sedang mengerjakan sesuatu seperti makan belajar dan lain-lain.
Dan tentu saja pelajaran tentang etika bias didapat melalui buku, media internet, dijelaskan oleh guru ataupun dalam perilaku sehari-hari pasti ada.
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar “Dalam dunia bisnis etika merosot terus” maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :
1. nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
2. kumpulan asas atau nilai moral.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
3. ilmu tentang yang baik atau buruk.
Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.

Sumber 12