….mahasiswa Indonesia berperan ibaratnya seorang resi (guru agama yang ahli bela diri—pen) atau seorang sheriff yang turun ke kota menyelamatkan rakyatnya ketika bandit-bandit datang dan mengancam keselamatan kota. Setelah bandit-bandit tersebut tewas atau melarikan diri, maka resi atau sheriff pergi meninggalkan kota tersebut dan kembali ke tempat tinggalnya. (Soe Hok Gie: Catatan Harian Seorang Demonstran. 1967:…..)
Pendahuluan
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, mahasiswa selalu menempati peran yang sangat strategis dari setiap peristiwa penting yang terjadi. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemuda dan mahasiswa menjadi tulang punggung dari keutuhan perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Jepang ketika itu. Peran tersebut juga tetap disandang oleh mahasiswa Indonesia hingga kini; selain sebagai pengontrol independen terhadap segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan penguasa, pemuda Indonesia juga secara aktif melakukan kritik, hingga mengganti pemerintahan apabila pemerintahan tersebut tidak lagi berpihak ke masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada kasus jatuhnya Pemerintahan Soekarno oleh gerakan mahasiswa, yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa dan pemuda tahun 1966. hal yang sama juga dilakukan oleh mahasiswa dalam menumbangkan pemerintahan Soeharto 32 tahun kemudian. Peran yang disandang pemuda Indonesia sebagai agen perubahan (Agent of Change) dan agen kontrol social (Agent of Social Control) hingga saat ini masih sangat efektif dalam memposisikan mahasiswa sebagai satu aktor penting dalam perjalanan bangsa ini. Sebab, sebagai sebuah negara dengan wilayah yang besar dan pendidikan politik masyarakatnya yang tidak merata, setiap pemerintahan yang berkuasa di Indonesia akan cenderung melakukan penyimpangan dalam setiap kebijakannya. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat sebagai stakeholder Republik Indonesia secara politis belum cukup aktif dalam mengupayakan kontrol dan pengawasan terhadap kebijakan dan prilaku politik penguasanya, sehingga peran mahasiswa dalam hal ini menjadi sangat penting dalam menstimulus partisipasi politik rakyat dalam upaya mengontrol setiap kebijakan yang dibuat penguasa.
Peran mahasiswa dalam konteks ini kemudian juga mengalami cobaan hebat, dengan martir-martir bagi perjuangan mahasiswa pada Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan Semanggi II. Pada tiga peristiwa tersebut, sejatinya menegaskan kesungguhan dan ketulusan anak-anak muda penuh idealisme untuk membangun bangsa dan negaranya sesuai dengan cita-cita yang diguratkan oleh para pendiri republik ini. Meski harus diakui bahwa tragedi dan peristiwa tersebut menjadi penegas akan sikap mahasiswa dalam menolak setiap upaya dan tindakan yang melawan kehendak rakyat.
Hal yang tidak kalah seriusnya yang menjadi penghalang bagi upaya dan langkah mahasiswa untuk terus memperjuangkan harapan dan keinginan rakyat adalah tindakan represif aparat. Tiga peristiwa penting dalam konteks pergerakan mahasiswa tersebut di atas adalah bukti bahwa kekerasan dan bentuk-bentuk militerisme menjadi satu ancaman serius bagi kelangsungan perjuangan mahasiswa.
Tulisan ini akan diuraikan tentang kilas balik gerakan mahasiswa, serta berbagai bentuk ancaman kekerasan bagi efektifitas gerakan mahasiswa dalam menjalankan perannya. Dalam tulisan ini juga akan membahas problematikan yang dihadapi oleh gerakan mahasiswa untuk dapat lebih mempertegas perannya bagi keberpihakannya pada rakyat, bangsa dan negara. Di samping itu, akan juga dibahas i budaya kekerasan dan militerisme yang berkaitan dengan ancaman yang serius bagi gerakan mahasiswa ke depan.
Polarisasi dan Diaspora Politik
Benedict Anderson, seorang Indonesianist mengungkapkan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Pernyataan Ben Anderson ini tak salah memang apabila dikaitkan dengan sejarah panjang bangsa Indonesia, di mana pemuda menjadi aktor dari setiap langkah perjalanan bangsa Indonesia. Pernyataan Ben Anderson ini tak salah memang apabila dikaitkan dengan sejarah panjang bangsa Indonesia, di mana pemuda menjadi aktor utama dari setiap peristiwa penting yang terjadi di Indonesia. Herbert Feith, Seorang Indonesianist lainnya menyatakan bahwa:
“Pemikiran politik modern (pemuda) di Indonesia diawali oleh bangkitnya nasionalisme modern. Hal itu dimulai antara tahun 1900-an dan 1910-an, dengan munculnya sekelompok kecil mahasiswa dan cendikiawan muda yang memandang dunia modern sebagai tantangan terhadap masyarakat dan menganggap diri mereka sebagai pemimpin potensial di masa yang akan datang…, Dalam tahun-tahun 1920-an jumlah mereka (pemuda-pen) meningkat agak pesat, begitu pula alienasi mereka terhadap kekuasaan kolonial; banyak di antara mereka , khususnya yang menuntut ilmu di luar negeri, dipengaruhi oleh pelbagai ideologi seperti sosialisme, komunisme, reformisme Islam, dan nasionalisme India, China, dan Jepang”
Apa yang dikemukakan oleh Ben Anderson dan Herbert Feith adalah sebuah keniscayaan sejarah, mengingat sejak jaman pergerakan nasional hingga saat ini, pemuda selalu menjadi tonggak dan aktor dari pendorong perubahan tersebut. Bahkan dengan sinis Francois Raillon menyebutkan bahwa karena peran pemuda dan mahasiswa yang begitu besar di Indonesia, maka dikenal adanya periodisasi. Periodisasi tersebut meliputi Angkatan 28, Angkatan 45, Angkatan 66, Angkatan 74, Angkatan 77/78, Angkatan 80-an, dan Angkatan 98 . Terlepas adanya asumsi bahwa periodisasi tersebut telah membatasi ruang gerak mahasiswa, karena terkesan eksklusif, namun keberadaan mahasiswa di luar kekuasaan politik harus diakui sangat efektif. Bahkan sekedar gambaran saja, langkah taktis-strategis yang dilakukan oleh Kelompok Sjahrir pada masa Penjajahan Jepang, yang banyak anggotanya merupakan mahasiswa kedokteran dan hukum mampu memberikan shock-therapy politik kepada Jepang karena kerja-kerja politik yang menolak kehadiran Jepang di Indonesia. Bisa jadi periodisasi dalam pergerakan mahasiswa dan pemuda hanya ingin menegaskan bahwa generasi muda nan gelisah tersebut dalam tiap jamannya mengukuhkan sikap dan keberpihakannya pada rakyat. Sebagaimana pergerakan politik lainnya, gerakan mahasiswa pun telah membangun satu kelompok politik yang diperhitungkan oleh penguasa dari tiap jamannya.
Pertanyaan yang kemudian kerap muncul adalah, seberapa efektif pergerakan mahasiswa yang menjadi satu kelompok politik yang terbebas dari kepentingan yang sempit. Meski dalam pandangan Riswandha Imawan, gerakan mahasiswa di Indonesia dikelompokkan dalam kelompok kepentingan dan kelompok penekan , namun secara garis besar Imawan mengelompokkan gerakan mahasiswa dalam kelompok kepentingan yang tidak terikat dalam satu perjanjian politik praktis. Akan tetapi Imawan juga menegaskan bahwa pola dan cara gerakan mahasiswa cenderung memiliki irisan dengan partai politik, LSM, dan kelompok kepentingan lain, khususnya dalam dua cara dan pola mahasiswa dalam mengekspresikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat, yakni: (1) Menawarkan kepentingan masyarakat yang sudah diartikulasikan untuk ’dibeli’ dan direspon oleh partai politik. (2) Secara langsung menyampaikan aspirasi masyarakat ke pemerintah, yang sering didahului adanya polemik di masyarakat.
Pertanyaan tersebut dapat saja dijawab dengan pendekatan Imawan ataupun Raillon. Hanya saja bila dikaitkan dengan pola diaspora dan polarisasi politik yang terjadi pada setiap angkatan kaum muda dan mahasiswa tersebut, maka kita dapat melihat bahwa tiap angkatan memiliki kekhasan dalam mem-follow up-i proses perjuangan yang dilakukannya. Pada Angkatan 1928 misalnya terjadi polarisasi politik antara kelompok mahasiswa radikal, menginginkan kemerdekaan Indonesia, dengan kelompok mahasiswa dan pemuda yang memilih berjuang dengan jalan kooperasi dan bekerja sama dengan Belanda. Sementara pada Angkatan 45, polarisasi justru terletak pada yang menerima kedatangan Jepang secara terbuka dengan yang menolak bekerja sama dengan Jepang. Sementara pada Angkatan 66, justru bukan polarisasi yang terjadi, tapi diaspora politik, yang diakhir kekuasaan Soeharto justru terjebak dengan kekuasaan itu sendiri. Hanya sedikit yang menyadari hal tersebut, kemudian keluar dari lingkaran kekuasaan Orde Baru. Pada Angkatan berikutnya: 74, 77/78, dan 80-an polarisasi dan diasopra politik tidak kentara secara jelas, karena pada tiga angkatan tersebut perjuangan gerakan mahasiswa tidak memenangkan momentum sebagaimana Angkatan 66, atau bahkan Angkatan 98 yang sekarang tercerai berai dalam ruang lingkup politik yang tidak terkoordinasi . Hal ini mengaskan bahwa keberadaan angkatan dalam pergerakan mahasiswa memiliki kecenderungan timbul dan tenggelam, tergantung pada momentum politik yang ada.
Ada lima alasan mengapa gerakan mahasiswa menjadi terlihat tidak ’seksi’, ’mati angin’ dan cenderung terjebak dalam proses dan aktivitas politik lanjutan, yang dipandang sebagai suatu upaya memadamkan semangat perjuangan. Pertama, kehilangan momentum politik. Satu tesis yang hingga saat ini sulit dibantah adalah bahwa kerap kali momentum besar tercipta tidak mampu dijaga dan dipertahankan oleh mahasiswa untuk menuntaskan agenda dan aspirasi masyarakat. Bahkan ada kecenderungan logika diaspora politik dilakukan bercampur dengan ambisi politik dari pelaku dalam pergerakan mahasiswa tersebut.
Kedua, peluang politik pasca momentum politik. Peluang politik tersebut menjadi satu permasalahan tersendiri ketika dikaitkan dengan netralitas dan kepentingan mahasiswa yang hanya untuk masyarakat. Peluang politik tersebut terkait dengan upaya untuk menggayungsambuti langkah dan perjuangan lanjutan pasca momentum politik. Bentuk dari peluang politik tersebut bisa dari kekuasaan yang baru, kesempatan untuk aktif dalam LSM, dan partai politik.
Ketiga, polarisasi ideologi gerakan mahasiswa. Salah satu konsekuensi dari kemenangan politik mahasiswa adalah terbukanya peluang masyarakat untuk mengembangkan diri dalam berbagai organisasi, termasuk organisasi mahasiswa. Bila sebelum kejatuhan Soeharto dan Orde Baru, organisasi mahasiswa radikal banyak didominasi oleh kalangan pro demokrasi dan organisasi informal. Maka pasca kejatuhan Orde Baru, berdiri berbagai organisasi yang tidak kalah radikalnya, baik dari informal kampus maupun organisasi formal kampus.
Keempat, ketidakmampuan menjaga stamina gerakan. Hal yang sama persis juga terjadi pada berbagai angkatan. Sekedar contoh misalnya pada kasus Malari, yang ’diinisiasi’ oleh Angkatan 74 atau pada kasus diberlakukannya NKK/BKK pasca gerakan yang dilakukan oleh Angkatan 77/78.
Kelima, tingkat represif yang ketat ataupun sebaliknya. Tingkat represif dan longgar ternyata membawa implikasi pada efektifitas gerakan mahasiswa. Sekedar contoh pada Angkatan 80-an, karena tingkat represif yang tinggi, banyak aktivis gerakan mahasiswa beralih ke ruang-ruang diskusi ataupun banting stir menjadi pegiat LSM.
Militerisme dan Budaya Kekerasan
Bukan berarti perjuangan gerakan mahasiswa Angkatan 98 paling heroik ataupun monumental, tapi harus diakui bahwa sepanjang sejarah pergerakan mahasiswa pada Angkatan 98 inilah sejatinya intensitas pergerakan yang dilakukan fenomental. Terlepas korban dari masyarakat dalam berbagai kerusuhan pra dan pasca kejatuhan Orde Baru, namun Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II merupakan momentum yang makin menegaskan bahwa perjuangan melawan tirani dan represifitas negara sebagai perjuangan yang tidak berhenti hanya ketika Soeharto dan Orde Baru runtuh. Melainkan yang lebih penting adalah bagaimana proses perjuangan tersebut dapat pula menisbihkan budaya kekerasan dan militerisme dalam konteks yang lebih luas. Ketiga peristiwa tersebut merupakan cerminan dari masih kuatnya militerisme dan budaya kekerasan dalam ingatan masyarakat kita.
Sekedar gambaran saja, bila dikaitkan dengan gerakan mahasiswa, maka upaya untuk mematikan dan membungkam gerakan mahasiswa dilakukan dengan pendekatan kekerasan. Tragedi Trisakti, Semanggi I, Semanggi II menjadi satu catatan hitam bagi negara yang menggunakan pendekatan keamanan untuk membungkam rakyatnya. mundur ke belakang, gerakan mahasiswa Angkatan 80-an, dan Angkatan 74, serta Angkatan 77/78 mengalami tindak represif negara. Peristiwa Malari yang mengiring perjalanan Angkatan 74 misalnya merupakan langkah negara melalui aparatus keamanan, baik polisi maupun tentara melakukan pembungkaman dan penangkapan. Beberapa tokoh mahasiswa bahkan harus mendekam dalam penjara dengan tuduhan pasal berlapis.
Aktor utama pada konteks hubungan negara dan masyarakat adalah militer dan polisi. Sebab keduanya memiliki wewenang untuk menggunakan kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Hanya saja masayarakat di sisi yang lain juga dapat berubah menjadi aktor yang melegalkan tindak kekerasan. Baik dalam konteks hubungan antar masyarakat maupun hubungan antar negara dan masyarakat. Dengan kata lain, militerisme tidak hanya menjadi monopoli bagi aparat keamanan (TNI dan juga Polri) tapi juga masyarakat secara luas. Beberapa contoh yang paling konkret misalnya konflik di Poso, dan Ambon telah mengedepankan makna militerisme dalam wilayah konflik. Dalam hal ini, makin jelas bahwa militerisme dan budaya kekerasan tidak menjadi sekedar domain TNI ataupun Polri tapi telah merasuk ke dalam keseharian dan aktivitas masyarakat.
Kesulitan yang utama dalam hal ini adalah mengintegrasikan antara kesadaran masyarakat dalam melihat pokok permasalahan dengan realitas yang dihadapkan kepada kenyataan bahwa benih-benih kekerasan juga tumbuh subur serta bersemayam di dalamnya. Ada tiga alasan mengapa budaya kekerasan dan militerisme telah menjadi satu permasalahan tersendiri, khususnya bila dikaitkan dengan adanya ancaman bagai penegakan HAM dan prinsip-prinsip demokrasi. Pertama, budaya kekerasan dan militerisme cenderung digunakan sebagai upaya untuk membungkam, mengekang hak dan aspirasi masyarakat dalam politik. Hal ini dapat dilihat pada tindakan represif negara terhadap masyarakatnya pada kasus unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat di Nepal, di mana pihak kerajaan berupaya melakukan langkah-langkah taktis-militeristik untuk membubarkan massa, ataupun mendorong adanya massa tandingan.
Kedua, budaya kekerasan dan militerisme cenderung memaksakan kehendak dalam bentuk tekanan massa ataupun dengan tindak kekerasan lainnya. Contoh yang paling hangat misalnya aksi anarkis yang dilakukan massa dari Front Pembela Islam yang merusak kantor Majalah Playboy, ataupun perusakan kantor Kontras oleh organisasi massa beberapa waktu lalu.
Ketiga, budaya kekerasan dan militerisme cenderung bertentangan dengan tata nilai yang berlaku di masyarakat. Bahkan budaya kekerasan dan militerisme dalam berbagai kasus dapat digolongkan sebagai anomali dalam masyarakat. Artinya budaya kekerasan dan militerisme merupakan sesuatu yang menyimpang dari pakem dan tata nilai yang ada di masyarakat.
Efektifitas Gerakan Mahasiswa
Keterkaitan antara efektifitas gerakan mahasiswa dan militerisme serta budaya kekerasan menjadi satu kerangka dalam tulisan ini. Meski efektifitas gerakan mahasiswa tidak semata-mata karena menguatkan militerisme dan budaya kekerasan yang ada di masyarakat, namun harus dicatat bahwa militerisme dan budaya kekerasan menjadi satu rangkaian dari perjalanan bangsa ini. Satu tesis tentang menguatnya militerisme dan budaya kekerasan di masyarakat adalah ketika kalangan intelektual tidak lagi menjadi panutan dalam menjalankan aktivitas politiknya. Dalam kasus Indonesia aktor intelektual dapat dikatakan berasal dari kalangan kampus, terutama mahasiswa. Artinya bisa jadi menguatnya militerisme dan budaya kekerasan di masyarakat karena gerakan mahasiswa dan kalangan intelektual lainnya tidak dapat memberikan satu panutan dan contoh yang mampu mendorong tertib masyarakat dan pemanfaatan kanal-kanal politik yang ada dengan baik. Masalahnya gerakan mahasiswa sepanjang jaman terus terjebak pada idiom; benci tapi rindu. Saling benci ketika bersama-sama dalam satu garis perjuangan, namun kemudian merindukan satu sama lain untuk penggalangan politik di lain waktu.
Ada tiga formula bagi upaya untuk mengefektifkan gerakan mahasiswa sebagai bagian dari kontrol dan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Formula pertama, membangun satu kesadaran yang utuh kepada semua elemen gerakan mahasiswa untuk bersama-sama membangun satu gerakan yang sinergis dan komprehensif tentang pengusungan isu bersama, seperti penolakan kenaikan harga BBM, dukungan mahasiswa terhadap penolakan revisi UU No. 13/2001 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini jelas mengandung konsekuensi untuk melepas baju eksistensi kelompok, ideologi, kepentingan, patronase, hingga tujuan dari perjuangan yang lebih sempit. Sejatinya formula ini relatif ideal dan pernah berhasil saat berbagai elemen gerakan mahasiswa bersatu padu dalam menjatuhkan Soeharto dan Orde Baru 1998 lalu, meski beberapa saat kemudian terpecah kembali pada basis gerakannya.
Formula kedua, membangun aliansi taktis-strategis untuk isu-isu tertentu. Aliansi-taktis-strategis ini sejatinya rumit dan mengundang permasalahan baru dalam praktiknya. Akan tetapi dalam kasus dukungan mahasiswa dalam aksi buruh menolak perubahan terhadap undang-undang perburuhan di Perancis beberapa waktu lalu justru efektif. Memang ada tiga prasyarat agar aliansi taktis-strategis tersebut dapat berhasil. (1) Isu yang diusung merupakan isu yang tidak terkait langsung dengan permasalahan mahasiswa, dan masyarakat secara luas. (2) Tingkat partisipasi politik mahasiswa cenderung stabil, dengan berbagai latar belakang ideologi politik. (3) Kepemimpinan massa ada pada masyarakat secara langsung. Kepemimpinan politik menjadi satu permasalahan dalam integrasi gerakan mahasiswa di banyak negara, bahkan Perancispun mengalami kegagalan ketika gerakan mahasiswa pecah pada tahun 1968, karena kepemimpiann massa yang tidak tuntas.
Formula ketiga, menciptakan momentum politik bersama. Penciptaan momentum politik bersama harus disadari penuh akan ada yang leading untuk berbagai kasus. Namun hal ini sesungguhnya menegaskan kepada kita semua bahwa tingkat kompetisi antar organisasi mahasiswa dapat teruji benar. Sekedar contoh misalnya sekarang ini, di mana organisasi mahasiswa yang memiliki jumlah dan basis massa yang jelas akan memimpin dalam berbagai momentum politik.
Dan keterkaitan antara menguat atau melemahnya militerisme, dan budaya kekerasan berkenaan dengan gerakan mahasiswa sangat tergantung seberapa besar efektifitas gerakan mahasiswa sebagai satu kesatuan aktor perjuangan. Semakin solid gerakan mahasiswa, dapat dipastikan ancaman militerisme dan budaya kekerasan makin kecil. Sebaliknya semakin membangun kebencian di atas kerinduan antar elemen gerakan mahasiswa, maka peluang militerisme merasuk dan membudaya akan makin kuat. Pertanyaannya, masihkah gerakan mahasiswa Indonesia saat ini masih saling benci tapi juga merindu?
http://muradi.wordpress.com/2007/09/24/58/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar